-->

Senin, 10 Juli 2017

Bela KPK, Begini "Ejekan" Todung Mulya Lubis Pada Yusril Ihza Mahendra, Pedas !!

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra membantah pandangan Todung Mulya Lubis yang menyebut dirinya hanya mengerti hukum tata negara tradisional dan tidak paham hukum tata negara modern, terkait kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.


Todung sebelumnya menyebut, Yusril hanya memahami pembagian kekuasaan ke dalam eksekutif, legislatif dan yudikatif, di mana KPK disebut bagian dari eksekutif sehingga bisa disasar penggunaan hak angket DPR.

Menanggapi hal tersebut, Yusril menegaskan sangat paham tentang pandangan Todung yang menyebut KPK masuk dalam golongan auxiliary agencies, yaitu sebagai lembaga penunjang yang ditempatkan dalam posisi independen.

Namun perlu diketahui, meski independen keberadaan lembaga tersebut tidak terlepas dari rumpunnya berada.

Menurut mantan Menteri Kehakiman dan HAM ini, dalam melakukan tugas di bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara korupsi, kedudukan KPK sama dengan Kejaksaan.

Yaitu berada dalam rumpun eksekutif, sebagaimana diatur pada Pasal 24 ayat 1 UUD 45 sebagai badan-badan lain yang tugasnya terkait dengan kekuasaan kehakiman.

"Hanya bedanya, secara struktural kejaksaan berada di bawah presiden sedangkan KPK tidak berada di bawah lembaga mana pun," ujar Yusril di Jakarta, Kamis (13/7).

Yusril kemudian mencontohkan seperti Bank Indonesia yang dalam Pasal 23 UUD 45 disebut sebagai lembaga independen. Pemilihan dewan gubernur sama dengan KPK yang dilakukan oleh DPR dan disahkan oleh presiden.

"BI merupakan lembaga independen, namun dalam angket terhadap skandal Bank Century, angket DPR langsung atau tidak langsung ditujukan kepada Bank Indonesia," ucapnya.

Menurut Yusril, kalau BI sebagai lembaga negara independen yang bukan sekadar auxiliary agency bisa diangket DPR, maka akan sangat aneh jika terhadap KPK tidak bisa dilakukan kebijakan yang sama.

Selain itu, dalam konteks DPR melakukan fungsi pengawasan terhadap lembaga-lembaga negara independen, KPK selama ini juga menjadi mitra kerja Komisi III.

KPK selalu hadir ketika diundang dalam Rapat Kerja Komisi III untuk dilakukan pengawasan. Padahal keberadaan raker hanya diatur dalam Peraturan Tatib DPR.

"Sekarang pertanyaannya, mengapa ketika DPR ingin melakukan angket, yang merupakan instrumen pengawasan yang diatur dalam UUD 45, Todung menolak? Todung seperti kehilangan kejernihan berpikir karena keinginannya yang menggebu-gebu untuk menolak angket DPR terhadap KPK," pungkas Yusril.jpnn.com
HALAMAN SELANJUTNYA:

iklan banner

Back To Top