Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, menilai para pengkritik pembangunan patung wayang golek dan patung lainnya yang didirikannya di setiap ruang publik, tidak obyektif. "Di setiap markas polisi dan tentara di Jawa Barat itu ada patung harimau Lodayanya, tapi tidak pernah mereka kritisi," katanya kepada Tempo, Jumat, 12 Februari 2016.
Selain patung harimau Lodaya yang menjadi ikon Kodam III/Siliwangi dan Polda Jawa Barat, di sejumlah markas polisi dan tentara itu juga ada patung tentara dan patung wayang kresna sebagai lambang intelijen.
Dedi bmempertanyakan pernyataan pentolan Front Pembela Islam dan Ketua Majelis Taklim Manhajussalihin, Ustad Syahid Djoban, serta MUI yang menyatakan bahwa patung-patung wayang dan lainnya yang bernyawa itu haram. "Lalu apa bedanya dengan patung Harimau Lodaya itu?"
Syahid dan MUI Purwakarta melalui suratnya bernomor 207/07-X/MUI/XII/2015, meminta Dedi menghentikan pembangunan patung bahkan menghancurkan patung yang sudah didirikan. "Sebab patung-patung itu haram, disembah atau pun tidak," ujar Syahid.
Menurut Dedi, pihaknya tidak usah diminta dan didesak buat menghancurkan patung-patung wayang dan lainnya yang sudah didirikannya itu. "Asalkan, FPI, Manhajussalihin dan MUI berani mengkritisi dan membongkar patung-patung Harimau Lodaya yang ada di markas tentara dan polisi itu," ujarnya.
Menajamnya silang-sengkarut ihwal keberadaan patung tersebut terjadi setelah patung Arjuna di ujung selatan lokasi wisata Situ Wanayasa dirusak. Patung itu dibakar pada Kamis dinihari, 11 Pebruari 2016, pkl.04.00.
Tak lama pasca peristiwa pembakaran patung Arjuna Memanah tersebut, Syahid mengatakan bahwa, "Aksi pembakaran patung itu wajar karena Bupati Dedi tidak menggubris himbauan Majelis Ulama Indonesia yang meminta penghentian pembangunan patung dan membongkar patung yang menyalahi syariat."
Aksi perusakan patung-patung wayang di Purwakarta terjadi sejak September 2011. Pada saat itu, patung Bima di pertigaan Jalan Baru dirobohkan, lalu patung Semar di pertigaan Combro dan patung Gatut Kaca di pertigaan Martadinata.
Budayawan Sunda, Hawe Setiawan, tak habis pikir ketika mengetahui ada aksi pembakaran patung Arjuna Memanah tersebut. "Membangun patung itu bagus ya. Kalau yang membakar itu, ya mengerikan," ujarnya.
Menurut Hawe, para pihak yang tidak setuju dengan kehadiran patung-patung wayang yang dibangun di ruang publik tersebut, sebaiknya mengkritisnya dengan cara-cara yang elegan. "Semua persoalan kan bisa dibicarakan dengan baik-baik. Kita ini kan masyarakat madani,"katanya.
Pembuatan patung, relif, gambar dana lainnya yang ditempatkan di ruang-ruang publik itu sudah ada sejak zaman nenek moyang dan nyaris tidak pernah diperdebatkan. "Soal patung itu, saya kira mayoritas masyarakat umum sudah mafhum tak ada kaitannya dengan soal syirik," ujar dosen Fakultas Sastera Universitas Pasundan Bandung itu.
Hawe menilai positif apa yang telah dilakukan Bupati Dedi dalam mengisi ruang publik. "Menurut saya bagus ada bupati yang mengisi ruang publik dengan sentuhan-sentuhan budaya lokal kepurwakartaan atau kesundaan. Mestinya, dirawat bersama, bukan malah merusaknya," kata Hawe.
HALAMAN SELANJUTNYA: