Dua tahun yang lalu saya membuat status tentang Sri Rahayu Ningsih, salah satu orang yang menandaskan kebenciannya terhadap Jokowi sampai tak bersisa. Sri ini tidak hanya membuat framing seperti Jonru, ia mengumbar kebencian dengan cara paling vulgar. Mencaci Jokowi menjadi hobinya, memfitnahnya PKI adalah jurus andalannya. Sri memiliki tingkat sarkasme yang mentah dan banal. Ia benar-benar menantang aparat hukum selama bertahun-tahun.
Dulu, saya meyakini ada kekuatan besar di belakang buruh migran Taiwan yang sudah putus urat takutnya ini. Paling tidak, ia mendapatkan garansi pembelaan dari junjungannya: Prabowo. Dan tentunya suport luar biasa dari PKS dan fans setianya, ketika tersandung hukum. Sri memang bebas membuat status, boleh memaki siapapun sesukanya, tapi Sri juga harus siap menanggung konsekuensi hukum. Tidak pernah ada kebebasan mutlak. Tidak di negara paling liberal sekalipun.
Sudah bertahun-tahun ia tak tersentuh hukum. Sri seperti dewi kebencian di medsos. Mungkin karena dulu ia ada di luar negeri, atau aparat menganggapnya hanya TKW depresi. Sri selalu memulai harinya dengan status pedas, provokasi SARA dan kebencian tanpa dasar. Namun tiba-tiba hari ini ada kabar mengejutkan, Sri yang sarkas itu diciduk aparat.
Ia ternyata berasal dari (atau berdomisili di) Cianjur. Saya membayangkan keterkejutan luar biasa yang dihadapinya. Saat ia merasa tak tersentuh, aman, bebas, tiba-tiba beberapa orang menyambanginya.
Mungkin selama bertahun-tahun ia berpikir, aparat tak akan pernah mampu menemukannya. Ia tidak memahami, kepolisian memiliki peralatan dan sumberdaya di luar imajinasi terliarnya. Dan ketika ditangkap itu, ia tahu arti kata tanggung-jawab yang sebenarnya.
Ini tentu berita yang getir. Bagaimanapun ia hanya seorang perempuan dusun biasa. Seorang istri dan barangkali ibu dari anak-anaknya. Seberapapun jauh ia pergi, seberapa bebaspun di tempat ia mengungsi, ke dusun terpencil itu ia akan kembali. Kebencian yang memuncak membuatnya tak menyisakan ruang sedikitpun untuk kesadaran ini.
Hari ini mungkin ia akan menyesal sepenuh hati. Apalagi ketika mengetahui, tak seorangpun yang mampu menyelamatkannya kini. Satu-satunya peluang keselamatan justru berasal dari orang yang dia benci setengah mati: Jokowi. Sri bisa meminta maaf dan berharap ada keajaiban seperti tukang sate itu. Dalam hal ini, Prabowo saya rasa tidak akan membuang waktu untuk mengurusi hal ini. Kecuali ia bisa menggunakan momen ini untuk pencitraan sebagai pahlawan. Dengan begitu ia harus menurunkan derajatnya mengurusi kasus remeh itu. Dengan menjual kemanusiaan, tudingan Pemerintah otoriter, dendam Pilpres, dan sejuta pemakluman untuk para pengagumnya.
Namun jika itu tidak terjadi, Sri hanya akan mendapat doa-doa medsos dari para pendukungnya. Ia akan dielu-elukan seperti Buni Yani di awal kasusnya. Selepas histeria sesaat itu, ia akan dilupakan. Benar-benar dilupakan. Sri akan menghadapi jalan panjang peradilan. Bahkan mungkin akan mencicipi dinginnya terali besi jauh sebelum putusan mengalami ketetapan.
Di titik inilah, tiba-tiba saya merasa bersedih.
Ini mestinya jadi bahan ajar untuk khalayak. Kritik ada tatacaranya. Kebencian tak boleh menenggelamkan akal sehat. Medsos bisa jadi ajang pamer apa saja, termasuk kebencian. Namun ada batas yang tak boleh dilanggar. Nikmati medsos dengan cara wajar. Sadari akibat dari ketikan jari. Tahu diri. Yang lucu-lucuan saja bisa jadi bencana. Apalagi yang dilakukan dengan serius dan tanpa batas kontrol.
Dulu saya membenci orang seperti Sri, Jonru atau siapapun yang suka memfitnah dan membuat framing murahan. Alasannya sederhana, mereka sombong di luar batas kemampuannya. Mereka benar-benar tidak memiliki kemampuan untuk disombongkan. Misalnya ada orang kaya sombong, orang cantik sombong, orang pintar sombong, mereka ini masih diterima nalar, meski tak dibenarkan oleh moral. Sri adalah contoh orang yang tak memiliki kepantasan itu. Ia hanya seorang buruh migran yang tak berpendidikan tinggi dan berasal dari dusun yang jauh.
Jika mengingat mulutnya yang pedas itu, ada sebagian diri saya yang tak perduli dan tega. Namun ketika ingat keluguannya sebagai orang kampung yang merasa telah menjelajah dunia (meski hanya sebagai buruh migran), saya berharap berita penangkapannya itu hanya gosip. Saya kasihan kepadanya. Tapi saya sadar, kasihan saja tidak cukup adil. Ada sebab-akibat, ada tanggung-jawab, ada mekanisme hukum di belakang semua ini.
Ini memang bukan tanggung-jawab Jokowi. Ada hukum khusus yang melindungi simbol Negara. Secara otomatis seseorang akan berhadapan dengan hukum jika melecehkannya, walaupun Jokowi sendiri tidak tahu apa-apa soal penangkapan ini. Ada desas-desus yang menyebut Sri sebagai kader PKS. Jikapun itu benar, tetap tidak cukup untuk membebaskannya dari jeratan hukum. Bahkan jika tujuh juta orang PKS melakukan demo nomor cantik sekalipun.
Kasus ini memang terlalu kecil dan berpotensi untuk diabaikan. Barangkali bagi Sri, ini waktu yang tepat untuk berdoa, sungguh-sungguh berdoa. Semoga ada keajaiban, semoga Jokowi mendengar kasus ini dan memaafkannya. Berkaca seperti kasus yang lain, ia bukan pendendam. Sri atau keluarganya harus mencari jalan agar persoalannya sampai ke atas sana. Didengarkan oleh satu-satunya manusia yang paling dibencinya.
Jika keajaiban itu terjadi, yang harus dilakukan Sri selanjutnya adalah mengubah pandangan kebenciannya selama ini. Dan yang paling penting, ia harus berhati-hati dalam bermedsos. Ini juga menjadi peringatan bagi siapapun, termasuk saya, jangan biarkan kebencian mengalahkan akal sehat. Saya memang membenci Sri, tapi rasa kasihan saya jauh lebih besar kepadanya.(fb.Kajitow Elkayeni)
HALAMAN SELANJUTNYA: