-->

Minggu, 25 Februari 2018

MCA Telikung Umat Islam. MUI Kecam Keras Tindakan MCA. Begini Pernyataan Keras Ketua MUI


Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengecam keras tindakan masyarakat yang menyebarkan berita bohong dengan menggunakan identitas Islam, seperti yang diduga dilakukan oleh anggota The Family MCA (Muslim Cyber Army).

Ketua MUI KH Ma’ruf Amin meminta pelaku tidak menelikung nama muslim. Dia juga berharap muslim di Indonesia tidak terpengaruh dan ikut-ikutan menyebarkan hoax. ”Jangan menggunakan nama muslim, dan yang penting, jangan menyebarkan hoax supaya negara ini aman,” ujar Ma’ruf Amin di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (28/2).

Ma’ruf mengatakan hal tersebut menyikapi penangkapan pelaku penyebar ujaran kebencian dan isu provokatif serta hoaks lewat aplikasi tukar pesan WhatsApp oleh polisi, dalam dua hari terakhir. Para pelaku diduga merupakan anggota The Family MCA.

Ma’ruf menegaskan, Polri harus memproses semua pelaku penyebar hoaks tanpa pandang bulu. Penyebaran berita palsu, kata dia, diyakini dapat membuat kegaduhan dan memicu konflik horizontal di tengah masyarakat. ”Polisi tidak boleh ragu, di mana saja harus diproses,” ujarnya. Selain itu, Ma’ruf meminta masyarakat membantu pemerintah dalam mengawal kesatuan serta keutuhan bangsa dengan tidak menyalahgunakan kemajuan teknologi digital dengan ikut-ikutan menyebarkan hoaks.

Sebelumnya, polisi menangkap empat orang terkait peredaran konten ujaran kebencian yang dilakukan oleh kelompok The Family MCA. Keempat tersangka ditangkap polisi di tempat berbeda, sejak Senin (26/2). Keempat orang ini bergabung dalam grup aplikasi Whatsapp bernama The Family MCA. Keempat orang yang ditangkap adalah Muhammad Luth (40), Rizki Surya Dharma (35), Ramdani Saputra (39), dan Yuspiadin (36). Polisi menduga empat orang ini menyebarkan isu provokatif di media sosial.

”Berdasar hasil penyelidikan, grup ini sering melempar isu provokatif di media social, seperti isu kebangkitan PKI, penculikan ulama, dan penyerangan terhadap nama baik presiden, pemerintah, serta tokoh-tokoh tertentu,” kata Direktur Cybercrime Bareskrim, Brigjen Muhammad Fadil Imran. Muhammad Luth adalah karyawan swasta, tinggal di Sunter Muara, Tanjung Priok, Jakarta.

Dia merupakan tersangka yang ditangkap kali pertama oleh polisi pada Senin (26/2) sekitar pukul 06.00. Polisi menyita barang bukti berupa ponsel, flashdisk, dan laptop. Setelah Muhammad Luth, polisi menangkap Rizki Surya Dharma di Pangkalpinang, Bangka Belitung. Rizki merupakan seorang PNS yang bekerja di Puskesmas Kecamatan Selindung.

Kemudian, polisi menangkap Ramdani Saputra yang merupakan karyawan pabrik elektronik di Jembrana, Bali. Berikutnya, polisi menangkap Yuspiadin di Jatinunggal, Sumedang, Jawa Barat. Lelaki yang sehari-hari berprofesi sebagai wiraswasta ini ditangkap dengan barang bukti dua buah ponsel. Fadil menerangkan, keempat tersangka sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis (SARA).

Tindakan itu melanggar Pasal 45-A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19/2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 4 huruf b angka 1 Undang- Undang Nomor 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan/atau Pasal 33 UU ITE.


Kepala Subdirektorat I Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Kombes Irwan Anwar, mengatakan, grup percakapan The Family MCA merupakan kelompok yang ”menggoreng” isu penyerangan terhadap sejumlah tokoh agama dan rumah ibadah. ”Iya, (The Family MCA) adalah pelaku penggoreng isu ulama diserang orang gila,” ujar Irwan.

Irwan mengonfirmasi The Family MCA sebagai penyebar isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), penculikan ulama, dan pencemaran nama baik presiden, pemerintah, serta tokoh-tokoh tertentu. Para pelaku diduga juga menyebarkan virus yang dapat merusak perangkat elektronik pihak penerima. Sebutan MCA tak asing bagi sebagian orang.

Orang yang berteman dengan Jon Riah Ukur Ginting alias Jonru di Facebook, mungkin sudah pernah mendengar istilah ini. Pada 29 Mei 2017, Jonru memberi testimoni soal MCA. ”MCA (Muslim Cyber Army) bukan organisasi, bukan lembaga, bukan komunitas, bukan yayasan, bukan perusahaan, bukan partai politik, bukan ormas. Setiap umat Islam yang tergerak hatinya dan melakukan aksi untuk berdakwah membela kebenaran di media sosial, maka dia adalah MCA,” begitu kata Jonru di laman Facebook-nya.

MCA diyakini sudah ada sejak 2010, akan tetapi sempat vakum hingga 2014. Saat itu, salah satu anggotanya yang paling terkenal memiliki kode nama Bill Gate. Kelompok ini awalnya bagian dari Anonymous yang kerap meretas situs lain. Peretasan umumnya ditujukan ke situs pemerintahan, tapi mereka tidak pernah mencampuri urusan politik. Polisi belum mengungkap apakah keempat orang ini merupakan bagian dari Muslim Cyber Army (MCA) atau kelompok lain yang hanya mencatut nama MCA.

Nama MCA digunakan untuk beberapa akun Twitter, tapi masih belum diketahui apakah keempat orang ini juga menjadi pengurus akun tersebut. Yang pasti, salah satu dari akun yang memakai nama MCA memiliki pengikut hingga 15,9 ribu. Terpisah, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengingatkan, Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 diperkirakan akan diwarnai oleh isu politik identitas dan politik uang. Jika kedua isu ini tidak dikelola dengan baik, akan menurunkan kualitas demokrasi.

”Ancaman demokrasi berupa rusaknya persatuan dan kesatuan bangsa akan tinggi dalam tahun politik. Jelang Pilkada 2018 dan Pilpres, sudah mulai terlihat upaya memecah persatuan bangsa serta merusak kerukunan antarumat beragama,” ujar Bambang, Rabu (28/2). Bamsoet, sapaan Bambang, menguraikan, pola-pola penyerangan terhadap tokoh, pemuka agama serta rumah ibadah menjadi salah satu bukti upaya memecah persatuan dan merusak kerukunan antarumat beragama.

”Pola-pola seperti ini pernah dilakukan beberapa tahun lalu. Modus yang dipakai antara lain dengan menggunakan isu dukun santet di mana banyak korban jatuh,” jelas Bamsoet. Mantan Ketua Komisi III ini berkeinginan pilkada dan pilpres tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga memiliki makna substansial yang mencerminkan proses demokrasi berkualitas.

”Politik uang dan politik transaksional harus mulai kita hindari dan tinggalkan untuk mewujudkan demokrasi yang beradab dan berkualitas,” papar Bamsoet. Bamsoet berharap, dalam konteks demokrasi yang berkualitas, masyarakat Indonesia dapat menyaksikan proses pemilu yang ideal dari para peserta pemilu, yakni dengan mengedepankan ide, program serta visi dan misi.

Sehingga, masyarakat dapat mengambil pembelajaran politik yang positif untuk perkembangan demokrasi. Bamsoet menilai ada baiknya ke depan pemilihan kepala daerah, mulai dari bupati, wali kota hingga gubernur, tidak dilakukan secara langsung, tetapi dikembalikan ke DPRD. Hanya pemilihan legislatif dan presiden yang dilakukan secara langsung.

”Kita tahu politik uang dan transaksional di pilkada bupati, wali kota, dan gubernur sangat tinggi. Kerusakan yang ditimbulkan sangat mengkhawatirkan. Masyarakat terbiasa dibeli dengan uang. Ironisnya, di beberapa daerah yang saya kunjungi, ada warga yang berharap pilkada dilakukan setiap tahun agar mereka bisa mendapatkan uang terus. Hal ini jelas merusak dan tidak bisa dibiarkan tetap berlanjut,” kata Bamsoet.(suaramerdeka.com)
HALAMAN SELANJUTNYA:

iklan banner

Back To Top